Selamat Datang Di Blog Resmi Official Pondok Tinggi Kritik dan Saran Silahkan Ke:pondoktinggi290@gmail.com

Jumat, 05 April 2013

Babi Singa

Babi Singa di Kaki Gunung Kerinci

Sore itu, suasa di sebuah desa di kaki gunung Kerinci tidaklah begitu ’ramah’. Hujan terus mengguyur lahan kelapa sawit yang hijau sejauh mata memandang. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para pemburu setempat dan tamunya dari Jakarta untuk bercengkrama. Cerita apa saja yang bisa menghibur suasana.
Ya, sore itu para pemburu sudah siap untuk menuju lokasi perburuan. Kali ini binatang buruan yang diincar adalah babi hutan yang memiliki berengos. Orang menyebutnya itu babi Nangoy. Padahal, dalam khasanah perburuan, babi berberengos mirip babi singa hanya ada di hutan Kalimantan. Ternyata, di hutan sekitar kaki Gunung Kerinci, Sumatera, juga ada. Dan inilah yang membuat para pemburu dari Jakarta menjadi penasaran.

Jarum jam terus bergerak, sementara hujan masih terus mengguyur. Para pemburu pun terus ngobrol ”ngalor ngidul”, ditemani secangkir kopi dan hidangan camilan khas desa.
Base Camp yang dipilih  kali ini adalah rumah Pak Tugiono, transmigran asal Jawa Timur yang bermukim sejak tahun 1983 bersama transmigran lainnya yang kebanyakan berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat, para korban meletusnya gunung Galunggung. 
Tempat tersebut dikenal sebagai Desa Mekar Jaya, Kecamatan Muko-Muko Selatan,  Ipuh, Bengkulu Utara. Sekitar 4 jam perjalanan dengan mobil dari kota Bengkulu.
Sekitar jam 8 malam, hujan mulai reda. Wajah para pemburu pun terlihat cerah, menandakan perburuan akan segera dimulai. Para pemburu segera menyiapkan senjata, peluru, serta perlengkapan lainnya. Tak lupa jas hujan, karena kemungkinan besar akan turun hujan di perjalanan.
Rombongan pemburu dibagi tiga. Rombongan pertama  dipimpin oleh hunter Budi Hasin yang juga sebagai Ketua Puma Group dari Perbakin Jaya. Ia ditemani hunter Bambang, Aryo, dan Gunadi. Mereka menaiki mobil berburu Toyota Hilux 4X4 yang sudah siap dengan ranggonnya.
Rombongan kedua, menggunakan Chevrolet 4x4 yang sudah teruji kecanggihannya di medan perbururan yang berat. Rombongan kedua ini dipimpin Kendrariadi, senior hunter dari Puma Group. Ia ditemani hunter Jim Himawan.
Rombongan ketiga, Daihatsu Rocky membawa pemburu tuan rumah, yakni hunter Prayit, Haryo, Srie, dan Ginawan. Seperti biasa, semua rombongan ditemani oleh para kru berburu yang selama ini setia mendampingi.
Sebelum berpencar, para pemburu melakukan briefing untuk ditentukan arah sasaran masing-masing mobil dan waktu titik pertemuan di pagi hari. Setiap mobil dilengkapi radio komunikasi, sehingga para pemburu dapat berkomunikasi, tukar informasi terutama jika mendapat kesulitan.
Petualangan perburuan dimulai, begitu briefing usai. Jalan licin setelah diguyur hujan cukup lama membuat kondisi mobil dan peran pengendara menjadi demikian penting dalam menuju sasaran perburuan. Sasaran yang dituju para pemburu adalah hutan di kaki Gunung Kerinci. Menurut penuturan warga sekitar, gunung ini terkenal angker dan lebat.
Menjelang pagi hari, kira-kira jam 2 pagi, dari komunikasi dengan radio  masing masing mobil telah mengumpulkan sekitar enam babi hutan. Bahkan mobil rombongan senior hunter Kendrariadi sudah tidak dapat mengangkut bintang buruan lagi, karena beban berat dari seekor babi Nangoy yang diperkirakan hampir mencapai 200 kg.
”Sebenarnya mobil saya sudah penuh, namun babi Nangoy besar itu berada ditengah jalan mobil, saya tembak dan kena!,”  ujar hunter yang berpostur tinggi besar itu.
Babi Nangoy Kanibal
Babi Nangoy tergolong jenis babi yang buas. Untuk yang sudah tua, berat babi Nangoy biasanya lebih dari 100 kg. Menurut penduduk sekitar hutan, jenis babi ini banyak bersarang di sekitar puncak Gunung Kerinci. Mereka hanya turun dari gunung mulai bulan Agustus dan lembali naik di bulan Desember.
Kebiasaan ini diduga karena pada bulan-bulan tersebut, di atas gunung mereka kekurangan makanan karena musim kemarau. Mereka turun gunung untuk cari makan dan ‘bersosialisi’ dengan babi hutan jenis lainnya.
Kebuasan jenis babi ini menjadi bahan pembicaraan para pemburu dan penduduk di sekitar kaki Gunung Kerinci. Babi hutan jenis ini memakan ternak penduduk, seperti ayam, kambing, dan bahkan sesama babi hutan.
Kanibalnya babi Nangoy ini dibuktikan sendiri oleh hunter Budi. Saat meninggalkan babi hutan hasil buruannya untuk dijemput pada waktu perjalanan pulang, ia mendapatkan babi hutan tersebut hanya tinggal separuh. Pemandu perburuan menyakini bahwa babi tersebut dimakan babi Nangoy.
Melihat posturnya, babi Nangoy ini serupa dengan babi Singa yang ada di Kalimantan. Dinakaman babi singa karena binatang itu memiliki berengos panjang di bagian kepalanya, sehingga menyerupai singa.
Menurut senior hunter Kendrariadi, babi hutan jenis ini, saat terkena lampu blour pada malam hari, mudah dibedakan dengan babi hutan lainnya. “Selain badannya yang relatif lebih besar juga berwarna lebih putih. Karena bobot badannya itu, maka jalannya pun lebih lambat dibadningkan babi hutan lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, hal inipun bisa menjadi pembuktian bahwa zaman dahulu kala kemungkinan secara geografis Pulau Sumatera satu daratan dengan Pulau Kalimantan.
Dengan wajah tersenyum kepuasan, walaupun kelelahan semalaman di atas mobil, para pemburu kembali ke rumah Pak Tugiono untuk mandi, makan pagi, dan istirahat sembari menunggu waktu perburuan berikutnya. (PUTRA IRWANDA/Dikisahkan oleh Senior Hunter Kendrariadi)

Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Tertua di Kerinci - Jambi

Masjid Agung Pondok Tinggi, Sungai Penuh, Jambi (foto dari ms.wikipedia.org)

Masjid Agung Pondok tinggi merupakan salah satu masjid tertua di wilayah Kerinci (Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh) di Provinsi Jambi. Masjid yang dibangun pada 1874 M itu merupakan saksi nyata penyebaran Islam ke wilayah tersebut. Kota Sungai Penuh sebelumnya merupakan ibukota dari Kabupaten Kerinci yang kemudian menjadi kota mandiri berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2008 lepas dari administrasi Kabupaten Kerinci. Sebagian wilayah Kota Sungai Penuh ini merupakan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang terkenal dengan keindahan alam nya.

Logo kota Sungaipenuh

Sepintas lalu bentuk Masjid Agung Pondok Tinggi ini mirip dengan rancangan Masjid Batu Al-Ikhsaniyah di Sekoja (Seberang Kota Jambi) sebelum direnovasi oleh Belanda, dan rancangan Masjid Jami’ Bengkulu yang dirancang ulang oleh Bung Karno. Namun, Masjid Agung Pondok Tinggi di Sungai Penuh ini tidak memiliki keterkaitan dengan Bung Karno tapi dengan Bung Hatta yang pernah berkunjung dan sholat di masjid ini tahun 1953 didampingi Bpk. Ruslan Mulyohano, Gubemur Sumatra Tengah waktu itu. 
Beliau berpesan agar masjid bersejarah tersebut dijaga kelestariannya, sekaligus memberinya nama “Masjid Agung Pondok Tinggi”. Menurut masyarakat setempat, pembangunan masjid ini dimulai pada Rabu, 1 Juni 1874, dan selesai pada 1902. Dibangun dengan cara swadaya gotong royong warga muslim setempat.
Alamat dan Lokasi Masjid Jami Pondok Tinggi


Masjid Agung Pondok Tinggi
Desa Pondok Tinggi, Kecamatan Sungai Penuh
Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi, Indonesia
Koordinat geografi : 2°3'58"S 101°23'37"E
Lihat lokasi masjid Agung Pondok Tinggi di wikimapia

Lihat Masjid Jami Pondok Tinggi di peta yang lebih besar
Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungai Penuh dapat ditempuh melalui tiga alternatif jalur darat. Pertama, perjalanan dari Kota Jambi ke Kota Sungai Penuh berjarak sekitar 500 km, dengan waktu tempuh sekitar 10 jam. Kedua, perjalanan dari Kota Padang ke Tapan kemudian dilanjutkan ke Kota Sungai Penuh yang berjarak sekitar 278 km dengan waktu tempuh sekitar 7 jam. Ketiga, perjalanan dari Kota Padang ke Muaralabuh, lalu dilanjutkan ke Kota Sungai Penuh. Jarak dari Kota Padang ke lokasi objek wisata sekitar 211 km dengan waktu tempuh sekitar 5-6 jam. Bagi anda pecinta wiasaya kuliner yang berkunjung ke Kota Sungai Penuh dapat mencicipi kuliner khas masyarakat Kerinci berupa beras payo, gulai ikan semah, dendeng bateko, kacang tojin, lemang, atau minum kopi kerinci dan teh kayu aro khas Kerinci.

Masjid Agung Pondok Tinggi Kerinci 
sekitar tahun 1901-1912 (foto dari 
Warisan Sejarah dan Ikon Kota Sungai Penuh
Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungai Penuh ini, selain masuk sebagai warisan budaya yang harus dilindungi dibawah Monumen Ordonasi tahun 1931 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Cagar Budaya, Pemerintah Kota Sungai Penuh juga mengabadikan Masjid Agung Pondok Tinggi ke dalam lambang kota Sungai Penuh ketika Sungai Penuh resmi berstatus sebagai sebuah kota otonom lepas dari administasi Kabupaten Kerinci. Masuknya Masjid Agung Pondok Tinggi ke dalam lambang kota Sungai Penuh ini menunjukkan penghargaan yang tinggi dari masyarakat dan pemerintah Kota Sungai Penuh terhadap warisan budaya mereka.
Sejarah Masjid Agung Pondok Tinggi
Masjid Agung Pondok Tinggi dibangun secara bergotong-royong oleh warga Desa Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi pada tahun 1874 M. Menurut masyarakat setempat, pembangunan dimulai pada Rabu, 1 Juni 1874, dan selesai pada 1902. Kala itu warga Sungai Penuh tak lebih dari 90 Kepala keluarga saja. Untuk melakukan pembangunan masjid, sebagian besar warga baik laki-laki dan perempuan bergotong-royong mengumpulkan kayu. Untuk meningkatkan semangat kerja, warga dusun juga mengadakan pergelaran berbagai seni pertunjukan tradisional Kerinci, di antaranya pencak silat.
detail atap Masjid Agung Pondok Tinggi (foto : pondoktinggi290.blogspot.com)

Setelah kayu terkumpul dan pondasi berhasil dibangun, warga kemudian mengadakan musyawarah untuk membentuk panitia pelaksana pembangunan masjid. Dalam musyawarah tersebut, disepakati empat orang pelaksana inti, yaitu Bapak Rukun (Rio Mandaro), Bapak Hasip (Rio Pati), Bapak Timah Taat, dan Haji Rajo Saleh (Rio Tumenggung). Sementara untuk arsitektur bangunan dipercayakan kepada M. Tiru seorang warga Dusun Pondok Tinggi. Untuk mengerjakan rancangan tersebut, dipilih 12 tukang bangunan yang dianggap memiliki keahlian mumpuni. 
Ke 12 orang tukang bangunan tersebut bertugas membantu mengukur, memotong, dan memilah berbagai komponen bangunan. Sementara itu, masyarakat setempat turut serta membantu pembangunan secara bergotong royong, terutama dalam menyediakan bahan-bahan untuk keperluan pembangunan. Pembangunan Masjid Agung Pondok Tinggi baru selesai secara permanen pada tahun 1902.
Detil dinding papan Masjid Agung Pondok Tinggi (foto : skyscrapercity.com)
Kata “Rio” yang pada nama para tokoh masyarakat tersebut kemungkinan besar yang dimaksud adalah “Krio” gelar tokoh masyarakat Kesultanan Palembang setingkat kepala Kampung, sejak masa Sultan Mahmud Badaruddin II, yang merujuk kepada buku ketatanegaraan kesultanan palembang yang berjudul “Simbur Cahaya”. Atau kemungkinan juga memiliki akar kata yang sama dengan itu.

Cerita yang berkembang di masyarakat juga menyebutkan, pembangunan masjid itu diawali dengan pesta keramaian selama tujuh hari tujuh malam dengan menyembelih 12 kerbau. Selain dihadiri seluruh warga dusun, pesta keramaian juga dihadiri seorang pangeran pemangku dari Jambi. Awalnya dinding masjid terbuat dari anyaman bambu dan pada tahun 1890, oleh masyarakat setempat, dinding yang terbuat dari anyaman bambu tersebut diganti dengan kayu yang diukir dengan indah.
Ornamen di bawah atap masjid Pondok Tinggi (foto : pondoktinggi290.blogspot.com )
Arsitektural Masjid Agung Pondok Tinggi
Arsitekur Masjid Agung Pondok Tinggi dibangun mengikuti model arsitektur masjid asli Nusantara dengan ciri atap limas tumpang tiga, bagian atasnya dihiasi dengan lambang bulan sabit dan bintang. Bagi masyarakat setempat, tiga tingkat atap tersebut berkaitan dengan 3 filosofi hidup yang mereka jalankan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bapucak satu (berpucuk satu), berempe Jurai (berjurai empat), dan batingkat tigae (bertingkat tiga). Berpucuk satu melambangkan bahwa masyarakat setempat mempunyai satu kepala adat dan beriman kepada Tuhan Yang Esa (satu); berjurai empat, lambang dari 4 jurai yang terdapat di Pondok Tinggi tempat masjid dibangun; dan batingkat tiga ialah simbolisasi dari keteguhan masyarakat dalam menjaga 3 pusaka yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu pusaka tegenai, pusaka ninik mamak, dan pusaka depati.
Masjid Agung Pondok Tinggi ditopang 36 tiang penyangga. Ke 36 tiang tersebut dibagi menjadi 3 kelompok tiang, yaitu tiang panjang sembilan (tiang tuo), tiang panjang limau (panjang lima), dan tiang panjang duea (tiang panjang dua). Tiang-tiang tersebut ditata sesuai dengan ukuran, komposisi, dan letaknya masing-masing. Tiang panjang sembilan (tiang tuo) sebanyak empat buah tertata membentuk segi empat yang terletak di ruangan bagian dalam. Tiang tuo tersebut diberi paku emas untuk menolak bala, dan pada puncaknya diberi kain berwarna merah dan putih sebagai lambang kemuliaan.Untuk tiang panjang limau (panjang lima) sebanyak 8 buah tertata membentuk segi empat dan tiang-tiang ini terletak di ruangan bagian tengah. Sementara itu, tiang panjang duea (panjang dua) sebanyak 24 buah tertata membentuk segi empat dan terletak di ruangan bagian luar.
detil ukiran dibawah ujung atap (foto dari : tourismjambi.com)
Masjid Agung Pondok Tinggi berukuran 30 x 30 meter dengan tinggi bangunan setinggi 100 kaki atau sekitar 30,5 meter dari lantai dasar hingga ke puncak atap. Dinding masjid terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran motif tumbuhan dan mempunyai kisi-kisi yang berfungsi sebagai ventilasi. Dilengkapi dengan berbagai hiasan motif geometris. Pada setiap sudut dinding terdapat hiasan motif sulur-suluran. Sedangkan lantai masjid terbuat dari ubin. Masjid ini mempunyai 2 buah pintu masuk berdaun ganda yang berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran.
Mihrab masjid terletak di sebelah barat, berdenah persegi panjang dengan ukuran 3,10 x 2,40 m. Pada bagian depan mihrab terdapat bentuk lengkung yang dihias dengan ukiran motif geometris dan sulur-suluran, serta tempelan tegel keramik. Keunikan lain dari masjid ini adalah tempat muadzin mengumandangkan adzan terletak di atas tiang utama masjid. Untuk mencapainya dihubungkan dengan tangga berukir motif sulur-suluran dan diakhiri sebuah panggung kecil berbentuk bujur sangkar yang berukuran 2,60 x 2,60 m dikelilingi pagar berhias ukiran motif flora. Panggung kecil inilah yang merupakan tempat muadzin berdiri dan mengumandangkan adzan. Sedangkan bagian mimbar masjid berukuran 2,40 x 2,80 m, dihias dengan ukiran motif sulur-suluran dan atap berbentuk kubah.
salah satu dari dua beduk di Masjid Agung Pondok Tinggi (panoramio)
Tabuh Larangan
Mesjid Agung Pondok Tinggi mempunyai dua beduk besar. Yang besar disebut “Tabuh Larangan”. Beduk ini dibunyikan, apabila ada kejadian seperti kebakaran, banjir, dan lain-lain. Beduk besar ini berukuran : panjang 7,5 m, garis tengah bagian yang dipukul 1,15 m, dan bagian belakang 1, 10 m. Beduk yang kecil berada di luar mesjid dengan ukuran : panjang 4, 25 m, garis tengah yang dipukul (bagian depan 75 cm dan bagian belakang 69 cm). Beduk ini dibuat dari kayu yang sangat besar, ditarik beramai-ramai dari rimba, dan dilubangi bergotong-royong.
Foto Foto Masjid Agung Pondok Tinggi
Interior Masjid Agung Pondok Tinggi (Foto : pondoktinggi290.blogspot.com)
detil Mihrab (foto : pondoktinggi290.blogspot.com)
Isra' Mi'raj SMAN 2 Sungai Penuh di adakan pada tanggal 25 Februari 2012 di Masjid Agung Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh Di hadiri oleh seluruh siswa dan siswi, majelis guru dan staf tata usaha (foto dari sman2-sungaipenuh.sch.id)
salah satu indahnya ukiran kayu di Masjid Agung Pondok Tinggi (foto dari tourismjambi.com)
Referensi
jambinews.com - Masjid Agung Pondok Tinggi
tourismjambi.com - Pondok Tinggi Grand Mosque
travel.detik.com - masjid-agung-pondok-tinggi-berdiri-kokoh-di-usia-137-tahun
jambi-independent.co.id - Melihat Sejarah Masjid Agung Pondok Tinggi
purbakalajambi.budpar.go.id – Masjid Agung Pondok Tinggi

------------------------------------------------
Baca juga artikel masjid masjid di pulau Sumatera lainnya

No comments:

Post a Comment

Dilarang berkomentar berbau SARA

Rumah Sakit Terangker Di Kerinci Dan Di Indonesia

Kisah Mistis di RS PTPN VI
Tribun Jambi - Sabtu, 5 Januari 2013 10:25 WIB
05012013_rmah_sakit_PTPN_Kerinci.jpg
TRIBUNJAMBI/PUTRA IRWANDA

Sepintas lalu, tidak ada yang terlihat aneh di lokasi bangunan rumah sakit milik PTPN VI unit Kayu Aro. Bangunan tua yang berada di tengah hamparan hijaunya perkebunan teh, terlihat asri dengan suasananya yang tenang dan suhunya yang sejuk.

NAMUN siapa sangka, bangunan tua yang diperkirakan dibangun pada tahun 1932 tersebut, menyimpan berbagai cerita mistis, yang mampu membuat buluk kuduk merinding jika mendengarnya.
Rumah sakit yang awalnya dibangun untuk menampung karyawan yang sedang sakit tersebut, dinilai menjadi salah satu rumah sakit yang paling angker di Indonesia. Karyawan di perkebunan, sering mendengar suara‑suara aneh sampai dengan penampakan makhluk astral.
"Katanya pernah tayang di On the Spot (acara tv nasional), sebagai salah satu rumah sakit yang paling angker di Indonesia," ujar humas PTPN VI unit Kayu Aro Oyong, saat mendampingi Tribun mengunjungi rumah sakit tersebut.
Arsitek bangunannya yang unik peninggalan kolonial Belanda, pohon‑pohon besar tumbuh subur di halamannya, ditambah lagi dengan adanya makam‑makam tua zaman Belanda di bagian samping bangunan, membuat suasana di rumah sakit ini semakin terkesan angker. Terlebih sejak beberapa tahun lalu bangunan ini tidak lagi digunakan.
Pada bagian dalam bangunan, masih tersimpan berbagai peralatan medis, ada yang masih berfungsi, namun tidak sedikit yang sudah tidak bisa lagi digunakan, karena perubahan zaman dan teknologi di bidang kesehatan. Keberadaan alat medis tersebut, seakan menambah kesan angker.
Saat perbincangannya dengan Tribun, Oyong mengatakan rumah sakit milik PTPN VI ini, akan menjadi tempat syuting program Uji Nyali, sebuah program terkait kejadian mistis, yang ditayangkan oleh stasiun tv.
Dipilihnya rumah sakit tersebut, lantaran selama ini bangunan yang dibangun bersamaan dengan pendirian pabrik pada tahun 1932 ini, memang dikenal sebagai salah satu tempat yang menyeramkan, dan sering terlihat adanya penampakan makhluk halus.
Beberapa orang kru dari TV tersebut, sudah melakukan survei di rumah sakit, dan rencananya syutingnya akan dilaksanakan tahun ini. "Peserta nantinya akan diuji nyalinya di rumah sakit ini," katanya.
Dijelaskannya, rumah sakit ini memang dikenal sangat angker. Karyawan sering mendengar suara‑suara aneh yang menyeramkan. "Kalau soal penampakan memang jarang. Namun ada beberapa orang karyawan yang pernah mengalaminya," jelasnya.
Menurutnya, awalnya rumah sakit tersebut, memiliki beberapa orang dokter, namun beberapa orang dokter mengundurkan diri, termasuk kelada rumah sakit, yang sudah diangkat menjadi PNS.
"Dulunya rumah sakit ini didirikan untuk pusat kesehatan karyawan perkebunan saja, namun saat masa jayanya banyak warga umum yang berobat, selain dari Sungaipenuh ada juga yang datang berobat dari kabupaten tetangga," katanya.
Pak De Sakimun, mantan karyawan PTPN VI Kayu Aro, dalam ceritanya yang dituliskannya di rubrik Kompasiana, mengaku pernah dicegat hantu wedon dan kemangmang di lokasi rumah sakit tersebut.
Peristiwa yang mengerikan itu membuatnya merasa ketakutan, karena cerita angker yang selama ini didengarnya dari warga, akhirnya terbukti dan dilihat dengan mata kepalanya sendiri.
Untuk informasi, data yang didapat Tribun dari bagian tata usaha Rumah Sakit PTPN VI, rumah sakit yang memiliki beberapa bagian bangunan tersebut, memiliki daya tampung sekitar 100 orang pasien, dengan perlengkapan medis yang cukup memadai.
Selain didukung tenaga medis, rumah sakit tersebut memiliki ruang poli gigi, ruangan operasi, ruangan rontgen, kamar bersalin, ruang labor, ruang apotik, ruangan UGD, ruang perawatan anak, ruang isolasi, ruang pospartus, serta beberapa ruangan perawatan lainnya.
"Ruang perawatan kelas III untuk wanita berkapasitas 20 orang, begitu juga dengan ruang perawatan kelas III pria. Selain itu ada juga ruangan kelas II pria dan wanita, ditambah dengan ruangan VIP dan super VIP, serta ruang KB," kata petugas.
Hanya saja, sejumlah perlengkapan medis sudah mengalami kerusakan, karena tidak pernah lagi dipakai, serta sudah ketinggalan teknologi. Beberapa alat medis yang masih berfungsi adalah alat rontgen, perlengkapan pemasangan alat KB, ruang operasi, dan mobil ambulans.
"Beberapa alat sudah rusak, yakni alat perawatan gigi, beberapa unit tempat tidur, dan mikroskop. Sementara kondisi bangunan masih sangat kokoh, meskipun bangunannya dibangun zaman penjajahan Belanda," tambahnya lagi. (eja)

Penulis :PUTRA IRWANDA
Editor : PUTRA IRWANDA

Belum ada komentar
Nama
Email
Kode Sekuriti

Tulis Kode sekutiti yang ada di samping
 
Saya menerima aturan dan syarat aturan dan syarat yang berlaku

© 2010 Tribunjambi.com. All Right Reserved | Redaksi | Contact Us | Info iklan |